Kalangan Muda di Jepang Minati Ajang Pencarian Jodoh

Ajang pencarian jodoh di Jepang kini makin diminati terutama oleh kalangan wanita.

“Kali ini semuanya usia 30 tahunan ada satu pasang yang usia 20 tahunan. Namun tampaknya kalangan wanita jauh lebih banyak saat pendaftaran kali ini,” kata Masako Matsui (65), penyelenggara perjodohan .

Acara perjodohan selanjutnya ke-26 di tempat yang sama di restorannya, restoran Soba di Otsuka Tokyo (pintu Selatan) akan diselenggarakan 17 Desember mendatang.

“Untuk acara mendatang sudah tercatat 15 pasangan atau 30 orang, kebanyakan 70 persen adalah repeater, mengulang kembali karena belum dapat jodoh dan kemarin-kemarin tampaknya tegang dan bingung sendiri karena baru pertama kali. Berikutnya mereka punya kepercayaan diri untuk mencari jodoh,” kata Matsui.

Pendaftaran per orang 4.500 yen untuk pria dan 4.000 yen untuk wanita termasuk makan minum sepuasnya, serta waktu untuk berkenalan satu sama lain.

Setelah perkenalan diri, saling berkenalan, makan, dan pendekatan, pada akhirnya dari hasil pengisian formulir kepada penyelenggara, di akhir acara diputuskan terjadinya pasangan yang dianggap cocok setelah berdiskusi dengan yang bersangkutan.

Misalnya satu wanita diperebutkan empat lelaki. Di akhir acara sebelum pengumuman ditanyakan kepada sang wanita dari empat pria yang mana dipilihnya. Setelah ketahuan, barulah diumumkan masing-masing pasangan yang terjadi.

Tentu saja ada lelaki mungkin juga wanita yang tidak beruntung, tidak mendapatkan pasangan.

“Ya mereka bisa ikut acara berikutnya, siapa tahu jodohnya belum sekarang kan,” kata Matsui.

Restoran Soba (bakmi Jepang) dipenuhi 17 pasangan yang sedang mencari jodoh, Minggu (13/11/2016).

Menjadi masalah saat ini sebenarnya karena jauh lebih banyak wanita sekitar 75 persen adalah wanita yang mencari jodoh ketimbang lelaki.

“Kalau demikian ya biasanya kita minta yang lelaki mencarikan ke teman lelaki siapa tahu ada yang mau ikut berpartisipasi, lewat mulut ke mulut, lewat media sosial atau lebih brosur yang kami buat kami tempel di depan toko ini dan berbagai cara promosi lainnya,” ujar dia.

Menjadi bagian yang sangat menarik pula adalah dukungan dari orang bank, Sugamo Shinyo Kinko yang ternyata sangat mendukung acara tersebut, Sobakon (perjodohan di restoran Soba).

“Saat ini jumlah warga Jepang jauh semakin berkurang karena banyak yang tak mau menikah. Tak mau menikah berarti tak akan ada anak dan ini membahayakan masa depan Jepang sebenarnya,” kata Matsui.

Oleh karena itu upaya Matsui sebenarnya patut diacungi jempol karena secara tidak langsung menjaga kelangsungan bangsa Jepang untuk masa mendatang.

Lalu bagaimana dengan orang asing kalau mau ikut serta?

“Pertama soal bahasa, sulit kalau tak bisa komunikasi secara lancar bahasa Jepang karena semua orang Jepang. Yang kedua, mungkin bisa dipisahkan kalau nantinya banyak orang asing ya kita buat terpisah khusus bagi orang asing mungkin. Tapi kami belum memikirkan hal itu, masih belum waktunya. Kini baru orang Jepang saja dulu untuk perjodohan ini karena dilakukan dengan serius upaya ini sejak awal,” katanya.

“Kami sangat bahagia sekali setelah menikah. Terima kasih kepada ibu Matsui yang telah mempertemukan kami,” kata Yamada dari Nagasaki yang didampingi istrinya dari Tokyo.

Yamada dan istrinya adalah salah satu pasangan yang akhirnya menikah beberapa bulan lalu. Keduanya kebetulan hadir Minggu (13/11/2016) untuk melihat ajang perjodohan ini.